PEMINAT
Sejarah Sulawesi Selatan tidak ada yang tidak kenal nama ini. Arung
Palakka. Raja Bone inilah yang banyak menjadi titik perhatian kajian
sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII. Perannya sangat memukau dalam
mengobarkan Perang Makassar dan jatuhnya imperium besar di nusantara
bagian timur, yaitu Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta Arung Palakka lahir
pada tahun 1635 di Kampung Lamatta, Mario riwawo, Soppeng. Ibunya
bernama We Tenrisui, Datu Mario Riwawo dengan suaminya La Pottobune
Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji
atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung
Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula - mula
menerima Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang
pertama menerima Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang
Bone menolak Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan
disanalah ia meninggal sehingga digelari MatinroE ri Bantaeng.
Ketika
La Tenri Tatta baru berusia 11 tahun, Bone dibawah pemerintahan
kakeknya, La Tenri Ruwa. Saat itu Bone diserang dan ditaklukkan oleh
Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone
serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya. Peristiwa tersebut disebut
Beta Pasempe (Kekalahan di Pasempe) karena perang Bone – Gowa
berlangsung di Pasempe (1646), sebuah kampung kecil dalam wilayah Bone
yang dipilih La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan. Ketika mulai
dewasa, La Tenritatta dikawinkanlah dengan I Mangkawani Daeng Talele.
Paska
Perang Pasempe, Sebanyak 10.000 orang Bone digiring ke Gowa untuk
dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng – benteng Makassar.
La Tenritatta bersama seluruh keluarganya meninggalkan rumah KaraengE
ri Gowa. Ia pun turun bekerja bersama orang Bone, merasakan bagaimana
penderitaan dan penyiksaan yang dialami rakyat Bone. La Tenri Tatta menyaksikan
dengan mata kepala sendiri bagaimana orang Gowa menyiksa orang Bone
jika didapati tidak bekerja atau malas karena kelaparan. Orang Bone
diperlakukan tak ubahnya hewan, dicambuk dan ditendang. Bahkan tidak
sedikit yang mati terbunuh oleh orang Gowa yang mengawasi penggalian
parit dan pembangunan benteng tersebut.
Melihat
tindakan orang Gowa terhadap orang Bone yang semakin tidak
berperikemanusiaan, hati La Tenri Tatta menjadi tergugah dan berpikir
untuk membuat suatu rencana pembebasan. Bersama Arung Belo, Arung Ampana
dan lainnya dibuatlah kesepakatan untuk melarikan diri dari tempat
penggalian parit dan pembuatan benteng tersebut menuju ke Bone. Arung Palakka bertekad menegakkan
kembali kebesaran Bone dan membebaskan rakyat Bugis Bone – Soppeng dari
penjajahan Gowa. Maka direncanakanlah pelarian tepat pada saat rakyat
Makassar menggelar pesta di Tallo. Arung Palakka, beberapa bangsawan
Bugis Bone Soppeng dan pasukan kecilnya berhasil melarikan diri sampai
di Bone dan langsung
menemui Tobala, Jennang Bone. La Tenri Tatta juga menyampaikan kepada
Datu Soppeng La Tenri Bali, pamannya agar Bone - Soppeng dipersatukan
sesuai kesepakatan Pincara LopiE ri Attapang (Perjanjian ri Attapang).
Bersatu pulalah kembali Tobala dengan La Tenri Tatta membangkitkan
kembali semangat perlawanan orang Bone terhadap Gowa.
Sebagai
wujud kegembiraan orang Bone atas kembalinya La Tenri Tatta ke Bone,
maka orang Bone sepakat untuk mengangkatnya menjadi Arung Palakka (1660)
mewarisi kakeknya. Setelah mempersatukan pendapat dengan Jennang Tobala
untuk tidak mundur dalam melawan Gowa, pergilah Arung Palakka ke Lamuru
untuk menghadang orang Gowa yang mengikutinya. Terjadilah perang yang
sangat dahsyat dan menelan korban yang tidak sedikit dari kedua belah
pihak. Karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, maka ia pun
mengundurkan diri bersama pengawalnya.
Dalam
perjalanannya menghindari serangan Gowa, La Tenri Tatta Arung Palakka
singgah menemui Datu Soppeng minta bekal untuk dimakan dalam perjalanan
bersama pengawalnya. Karena dia akan pergi mencari teman yang bisa
diajak kerja sama melawan Gowa. Hal ini dimaksudkan agar dapat
menegakkan kembali kebesaran Bone. Atas permintaannya itu, Datu Soppeng
memberinya emas pusaka dari orang tuanya. Emas itulah yang dijadikan
bekal bersama segenap pengawalnya pergi mencari teman yang bisa diajak
kerja sama menegakkan kembali kebesaran Bone. La Tenri Tatta Arung
Palakka sebelum berangkat berjanji tidak akan memotong rambutnya sebelum
ia kembali ke Bone.
Berangkatlah
La Tenritatta Arung Palakka bersama segenap pengawalnya, sementara
orang Gowa tetap mengikuti jejaknya. Orang Bone pun kembali melawan di
bawah pimpinan Tobala yang dibantu oleh orang Soppeng. Akan tetapi
karena kekuatan Gowa masih lebih kuat, sehingga orang Bone kembali
mengalami kekalahan. Bahkan Tobala tewas dalam peperangan dan Datu
Soppeng tertawan. Akibatnya banyak orang Bone – Soppeng yang kembali
ditawan oleh Gowa. Sementara Arung Palakka tetap diburu dimanapun
berada, seakan-akan tidak ada lagi tempat yang aman di Tanah Bugis Bone.
Akhirnya ia memutuskan untuk menyeberang ke Tanah Uliyo (Butung), dalam
Bulan Desember 1660.
Sesampainya
di Butung (Buton), naiklah La Tenritatta menemui Raja Butung. Raja
Butung menerimanya dan bersedia membantunya. Tetapi ternyata Gowa tidak
akan berhenti untuk mengikuti jejaknya. Setelah KaraengE ri Gowa
mengetahui bahwa La Tenri Tatta bersama sejumlah pengawalnya telah
menyeberang ke Butung, ia segera memerintahkan Arung Gattareng untuk
menyusulnya. Akan tetapi Arung Gattareng tidak sampai di Tanah Uliyo dan
kembali tanpa membawa hasil. KaraengE ri Gowa lantas mengirim pasukan
tempur untuk mengikuti sampai di Butung. Sesampainya di Butung pasukan
Gowa tersebut mencari ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan
La Tenri Tatta dengan seluruh pengawalnya. Raja Butung berusaha
meyakinkan orang Gowa bahwa La Tenritatta tidak ada di atas Tanah
Butung. Oleh karena itu, orang Gowa kembali tanpa menemukan La
Tenritatta dan pengawalnya.
Arung
Palakka mendapatkan bantuan perlindungan dan tinggal sementara di
Buton. Selma tinggal di Buton, Arung Palakka telah menjalin komunikasi
awal dengan Kompeni Belanda untuk membantunya membebaskan bangsanya
memerangi Gowa. Pada tahun 1663 Arung Palakka bersama pengawal dan
pasukan kecilnya sebanyak 400 orang ke Batavia dengan menumpang kapal
Belanda yang singgah di Buton dari Ternate. Belanda memberi tempat
pasukan Arung Palakka di Angke (Muara Angke) di Batavia, itulah sebabkan
pasukannya disana disebut juga Bugis Toangke. Setelah memenangkan
Perang Pariaman dalam tahun 1666, Arung Palakka mendesak Kompeni Belanda
agar segera membantunya menyelesaikan masalah di timur Nusantara,
khususnya dalam membebaskan negerinya dari penjajahan Gowa.
Sementara
Kerajaan Gowa mengutus Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bontomarannu
dalam ekspedisi pencarian Arung Palakka dan pasukannya, Arung Palakka
sendiri dengan pasukan Bugis dan Belanda dibawah pimpinan Speelman telah
berada dalam perjalanan menuju ke Tanah Ugi. Dia akan langsung ke
Butung untuk mengambil seluruh orang Bone - Soppeng yang mengungsi
kesana akibat tindakan orang Gowa. Begitu pula Orang Gowa yang kesana
karena tidak senang dengan tindakan kekuasaan rajanya, hal ini terjadi
dalam tahun 1667. Sebelum Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu memulai serangannya terhadap Butung, datanglah kapal Kompeni
Belanda yang ditumpangi Pasukan sekutu Arung Palakka – Speelman. Arung
Palakka mengutus beberapa orang menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu diatas kapalnya. Kepada utusan itu, Arung Palakka berpesan,
”Janganlah Raja Butung diserang, karena dia tidak bersalah. Tetapi kalau
KaraengE ri Gowa benar-benar mau berperang, maka sekarang lawannya
sudah ada dan alangkah baiknya jika Datu Luwu dan Karaeng
Bonto Marannu turun ke kapal sekarang juga dengan mengibarkan bendera
putih untuk kita bicara secara baik”.
Tak
lama kemudian, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu turun
dari kapalnya, mengibarkan bendera putih dan menemui Arung Palakka.
Diatas kapal kompeni, Arung Palakka berkata kepada keduanya, ”Saya tidak
tahu perselisihan Luwu dengan Bone, saya juga tidak tahu apa
perselisihan saya dengan Karaeng Bontomarannu. Maka menurut pikiran
saya, alangkah baiknya kalau Datu Luwu dan Karaeng Bontomarannu, bersama
seluruh pasukannya kembali ke negerinya”. Setelah itu, dibawalah Datu
Luwu dan Karaeng Bonto Marannu bersama seluruh pasukannya ikut di kapal,
diikutkan pula semua orang Bone, Soppeng dan Gowa yang ada di Butung.
Alat-alat perang orang Gowa dan pasukan Datu Luwu diserahkan kepada
orang Bone. Ketika KaraengE ri Gowa mengetahui bahwa Datu Luwu dan
Karaeng Bonto Marannu diikutkan di kapal Kompeni maka iapun berpikir
bahwa kesepakatan antara Luwu dengan Gowa telah pecah. Oleh karena itu
seluruh tawanannya dikembalikan ke negerinya, termasuk Arumpone dan Datu
Soppeng La Tenri Bali.
Tanggal
17 Desember 1666, Angkatan Perang Bugis – Belanda sudah sampai di
perairan Sombaopu. Ringkas cerita, pecahlah Perang Makassar dalam dua
babak, dalam tahun 1666 – 1667. Pasukan Bugis La Tenri Tatta bersama
pasukan Belanda Speelman menggempur habis – habisan Gowa dan menyerahlah
Sultan Hasanuddin yang ditandai dengan Perjanjian Bungaya, 1668. Arung
Palakka berhasil memerdekakan rakyat Bone – Soppeng dari Penjajahan Gowa
yang telah berlangsung dalam kurun waktu 1611 – 1667. Masih banyak lagi
pertempuran – pertempuran kecil paska Perjanjian Bungaya sebagai upaya
Arung Palakka menstabilkan dan menundukkan seluruh kawasan Sulawesi
Selatan dibawah perintahnya. Dalam tahun 1672, Arung Palakka naik takhta
menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone (Raja Bone) menggantikan pamannya, La
Maddaremmeng. Belanda
memberikan kewenangan kepada Arung Palakka untuk membawahi seluruh
arung dan negeri di Celebes Selatan. Hubungan kekuasaan Arung Palakka –
Belanda juga menjadi kajian menarik Sejarah Sulawesi Selatan paska
Perjanjian Bungaya, 1668, saya membahasnya dalam tulisan lain. (*)
Add to Cart
0 komentar:
Posting Komentar